fadhilah
wajahnya masih terekam betul dalam dimensi pikiranku, terus berlari maraton. sepertinya dia tidak pernah lelah mengusik segala pikiranku. mengusik? tidak, aku saja yang terus memikirkan semua keanehan ini. ah, tiba-tiba duniaku seperti berbalik arah. tidak lagi mengalir bersama arus. sekarang, salah satu orang yang selama ini sudah kuanggap seperti sahabat bahkan saudara (pergi). iya, pergi. entah pergi kemana. tapi selama ubun-ubunku masih bekerja dengan baik, aku selalu berpikir pergi kemudian kembali. ahh, bodohnya. mana mungkin dia kembali. dia saja menyuruhku untuk tidak mengusik kehidupannya lagi. (karena) aku yang sekarang bukan (aku) yang dulu (?) seperti itu kah? .
apa benar alasannya seperti itu? kalau begitu kemana aku yang dulu? saat itu aku terus berusaha berdamai dengan hati, mengajak ia berdiskusi tentang bagaimana aku sekarang. tapi? ah, iya. mungkin aku yang berubah. mungkin selama ini aku yang terlalu tidak sadar diri. tapi, sekali lagi. aku terus berusaha menjadi diriku sendiri. bahkan ketika semangatku untuk mengajak hatiku berdamai, tiba-tiba dia begitu saja mematahkannya. ahh, rasanya seperti aku manusia yang ter- . entah;ah. aku masih bingung. otakku masih terotak-atik olehnya.
tapi, ketika jejak langkahnya tiba-tiba terdengar jelas. aku pun sudah pasrah. merelakan dia pergi. mungkin ini lebih baik. walaupun, selama ini aku terus bertahan dalam ketidakpastian ini. bertahan dalam pengabaian, bertahan dalam angin yang selalu saja mencoba untuk mengajakku bersamanya.
rasanya bagaimana? saya saja bingung. tidak tahu apa sekarang yang ada di benaknya tentangku. mungkin aku terlihat idiot karena sikapku seperti ini, atau mungkin lebih buruk dari itu. ah, atau mungkin seperti mimpi burukku bahwa sekarang dia teramat kecewa bahkan bisa saja sekarang dia (membenciku).
terus-terus menerka. hal yang selama ini kubenci, "menerka-nerka".
sudahlah, toh aku harus terbiasa hidup tanpa dia. karena dia "mungkin" sudah terbiasa.

0 Responses

Posting Komentar