fadhilah
sesekali matanya kutemukan dengan keadaan sembab dan bengkak. sahabat berbagi ku selama ini tiba-tiba menjadi lemah, entah apa yang terjadi dengannya. mukanya memerah jika kutanya "kenapa?" hingga aku benci dengan kekakuan dan kediamannya ini. kami masih saling berdiam diri, berbicara dengan elektron-elektron di dalam pikiran yang terus saja berotasi dalam pikiran kami. tiba-tiba dia menggenggam tanganku, semakin lama pegangannya begitu kuat dan kuat. matanya mulai berair di depanku, tak terbendung lagi. dan aku baru sadar kehidupan keluarganya berbeda denganku.

entah hipotesisku benar atau salah, sejam kami duduk berdua dia masih dengan dirinya. sejuta atau mungkin kata "sabar" sudah tumpah ruah di tempat ini. aku benci aku harus mengatakan itu terus karena sama sekali aku sebagai pemeran idiot yang tak tahu apa-apa dan melihat sahabatku sendiri mengeluarkan air mata di depanku.

aku memeluknya, mencoba menenangkannya. tangisannya semakin deras bagai banjir bandang. aku mencoba menemukan jawabannya dengan menatapnya dalam-dalam. yah, sudah aku duga, "keluarga". tempat di mana aku merasakan sebuah kenyamanan sebuah kebahagiaan yang sederhana. tapi sekali lagi, kehidupan keluargaku berbeda dengannya. dia masih punya ayah dan ibu tapi mungkin itu hanya di bayang-bayangnya. tepat tahun lalu, ayah dan ibunya berpindah alam. hingga ia harus menjalani semua ini dengan sebatang kara karena saudara-saudaranya entah kemana. dan satu lagi orang tuanya meninggalkan kesan yang buruk di mata orang-orang sekitarnya

cacian dan gonggongan itu terdengung dimana-mana, hingga pikirannya semakin ricuh. membuatnya menangis dan lemah begini. sesekali ia menengok dan mendapati mataku dengan tatapan sejuta harapan. aku harus bagaimana? aku benci dengan diriku sendiri karena tidak bisa menghentikan cemoohan dan teriakan-teriakan yang aneh dan konyol itu.

detik kian memutar, dia masih diam membisu dia seakan-akan hanya berteman dengan air mata. dan aku? masih dengan elektron-elektron yang entah orbitannya sudah tidak jelas di kepalaku ini. tiba-tiba ia menyandarkan kepalanya ke bahuku. mungkin dia cukup berdiam diri untuk merasakan ketenangan sejenak.

berkuliah dengan IP yang tidak pernah di bawah 3.5 cukup menyadarkanku, dia sosok yang sangat pintar, cantik dan tegar. setiap harinya harus bekerja demi sesuap nasi dan demi mendapatkan sedotan ilmu .

tangannya tiba-tiba gemetar. sangat jarang aku menemukannya seperti ini, terakhir kali aku melihat ia menitihkan air mata ketika nama orang tuanya terukir di batu nisan. itupun pada saat itu ia masih tersenyum dan masih menyapa orang lain dengan senyum khasnya itu.

dan sekarang aku mencoba untuk menghapus air matanya itu. dan sekali lagi mengucapkan kata sabar. 
0 Responses

Posting Komentar