fadhilah
ketika omongan menjadi senjata tajam bagi sahabatku, seakan-akan aku seperti menusukkan sendiri pedang itu ke tubuhku. harus berkata apa lagi jika kata-kata itu hanya menjadi duri tajam baginya. bagaimana harus ku tumpahkan segala kesalahanku yang begitu menumpuk membentuk pegunungan yang tinggi. Ini bukan kali pertamanya, tapi kesalahan itu telah membentuk pegunungan dan harus bagaimana aku mendatarkan itu semua?

sekarang sejuta omongan itu membuatnya menitihkan air mata di pipinya. sungguh, aku tak pantas lagi dipanggil dengan sebutan "sahabat". bagaimana bisa aku melakukan kesalahan yang berulang kali? bagaimana bisa aku menumpahkan kotoran berulang kali? sungguh, aku seperti manusia hina yang tidak dapat menjadikan pengalaman-pengalaman itu sebagai guru berhargaku.

senyumnya sangat palsu, tentu saja. itu hal yang wajar, dia menutupi ini semua dengan senyum palsunya. sebegitu tegarnya kah kau dihadapanku? kenapa mesti aku harus tahu belakangan semua kesalahanku yang terlanjur menjadi pegunungan itu?

status sahabat itu tak lagi ada maknanya, akibat kesalahan teoriku ini. hidup bukan hanya dengan teori tapi teori itu sudah mendarah daging di tubuhku. Maaf? sebegitu gampang kah aku mengucapkan itu? tidak sama sekali, aku takut dia tidak memaafkanku. aku takut dia tak lagi ingin menjadi teman terbaikku.

namun, harus bagaimana aku memperbaiki ini semua kawan? sekali lagi, janji tak ada lagi artinya bagimu karena kepercayaan yang telah kau tanamkan untukku telah kuhancurkan sendiri bukan?

kawan, maaf maaf untuk semuanya. aku tahu ini tak mudah bagimu, tapi bisa kah kita menjalin persahabatan itu kembali? maafkan aku telah menjadi sahabat gagal untukmu
0 Responses

Posting Komentar